Ucapan Idul Adha Dalam Bahasa Arab Latin dan Hukumnya

Salah satu moment yang tepat untuk bisa saling merasakan kebahagiaan di hari besar dan bersejarah seperti di hari raya idul adha ini adalah dengan saling mengucapkan salam, bertegur sapa dengan ucapan-ucapan yang sangat bermnafaat. Meskipun jika di tinjau secara hukumnya itu terdapat perbedaan pendapat, ada yang membolehkannya akrena hukumnya mubah, bahkan ada juga yang tidak memperbolehkannya karena itu tidak ada dari Rasulnya atau bid’ah.

Namun kita semua sebagai kaum awwam tentu tidak ingin melewatkan kesempatan yang baik ini untuk bisa saling merasakan dan berbagi di hari besar seperti idul adha ini. Apalagi pada perayaaan iduk adha ini selalu di adalan penyembelihan hewan qurban yang semestinya di jadikan sebagai kesempatan emas untuk bisa saling menjaga tali persaudaraan, kerukunan serta keharmonisan antar umat islam pada khususnya.

Dan adapun tentang kata kata ataupun memberikan ucapan idul adha misalnya itu adalah bagian dari penghormatan sesama muslim terhadap datangnya bulan yang istimewa yaitu bulan dzulhijjah. Dimana pada bulan tersebut merupakan salah satu bulan yang sangat di mulyakan dan di hormati oleh Alloh S.W.T. dengan banyaknya amalan terbaik yang bisa dilakukan oleh setiap muslim seperti berqurban ataupun ibadah hajjii.

Ucapan Idul Adha Dalam Bahasa Arab Latin dan Hukumnya

Nah, dalam bagian ini kita semua kembali pada pemaknaan yang tersirat dari sebuah firman Alloh S.W.T

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا

Artinya: “Dan apabila kalian diberi ucapan salam penghormatan maka jawablah dengan yang lebih baik darinya atau balaslah dengan yang semisalnya.” (An-Nisa`: 86)

Adapun saling mengunjungi saat hari raya dan berjabat tangan ketika berjumpa di hari raya, demikian pula saling mengucapkan selamat, bukanlah perkara yang disyariatkan bagi pria maupun wanita. Namun demikian, hukumnya tidak sampai bid’ah. Terkecuali bila pelakunya menganggap hal itu sebagai taqarrub (ibadah yang dapat mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, barulah sampai pada bid’ah karena hal itu tidak pernah dilakukan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Nashihati lin Nisa`, Ummu Abdillah bintu Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu, hal. 124)

Nah dari sinilah kita semua mungkin bisa mencerna dengan seksama tentang bagaimana hukum dari menngucapkan pada hari-hari raya tertentu seperti hari raya idul fitri dan idul adha misalnya. Walaupun terdapat juga yang berpendapat bahwa perkara itu termasuk pada hal-hal yang bid’ah dalam artian di tolak dari pengamalannya. Namun tidak semestinya itu menjadi alasan untuk kita tidak saling bertegut sapa, memberikan salam terhadap sesama umat islam khusunya di hari raya idul adha ini.

Maka dari tu kita kembali pada salah satu pendapat Syekh Jalaluddin As-Suyuthi yang menjelaskan masalah ini dalam kumpulan fatwanya berikut ini.

قال القمولي في الجواهر : لم أر لأصحابنا كلاماً في التهنئة بالعيدين ، والأعوام ، والأشهر كما يفعله الناس ، ورأيت فيما نقل من فوائد الشيخ زكي الدين عبد العظيم المنذري أن الحافظ أبا الحسن المقدسي سئل عن التهنئة في أوائل الشهور ، والسنين أهو بدعة أم لا ؟ فأجاب بأن الناس لم يزالوا مختلفين في ذلك ، قال : والذي أراه أنه مباح ليس بسنة ولا بدعة انتهى ، ونقله الشرف الغزي في شرح المنهاج ولم يزد عليه

Artinya: “Al-Qamuli dalam Al-Jawahir mengatakan, ‘Aku tidak menemukan banyak pendapat kawan-kawan dari Madzhab Syafi’i ini perihal ucapan selamat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, ucapan selamat pergantian tahun dan pergantian bulan seperti yang dilakukan oleh banyak orang sekarang. Hanya saja aku dapat riwayat yang dikutip dari Syekh Zakiyuddin Abdul Azhim Al-Mundziri bahwa Al-Hafizh Abul Hasan Al-Maqdisi pernah ditanya perihal ucapan selamat bulan baru atau selamat tahun baru.

Apakah hukumnya bid’ah atau tidak? Ia menjawab, banyak orang selalu berbeda pandangan masalah ini. Tetapi bagi saya, ucapan selamat seperti itu mubah, bukan sunah dan juga bukan bid’ah.’ Pendapat ini dikutip tanpa penambahan keterangan oleh Syaraf Al-Ghazzi dalam Syarhul Minhaj,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Hawi Lil Fatawi fil Fiqh wa Ulumit Tafsir wal hadits wal Ushul wan Nahwi wal I‘rabi wa Sa’iril Funun, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Libanon, 1982 M/1402 H, juz 1, halaman 83).

Berikut sepenggal kata-kata mutiara terhadap penyambutan kedatangan hari raya idul qurban tersebut yang mungkin bisa dijadikan sebagi wujud rasa cinta dan bahagia kita selaku umat muslim atas datangnya salah satu bulan yang sangat di istimewakan oleh Alloh S.W.T.

“Gema takbir mengangkasa dilangit, mengagungkan kebesaran Allah, Maafkanlah diri yang begitu kerdil ini dan bahkan kerap berbuat salah dan dosa”

“Sebelum terbit mentari, kupanjatkan untaian doa dan harapan untukmu di hari raya kurban”

“Awali hari kurbanmu dengan penuh senyuman dan kebahagiaan layaknya mereka yang begitu bahagia menerima pemberian darimu. Semoga kurbanmu berkah, amin”

“Kurban lebih berarti jika dilakukan untuk berbagi. Dan bukan untuk pribadi”

“Belajarlah dari Ibrahim yang rela mengorbankan anaknya, dan jadilah seperti Ismail yang ikhlas menerima kehendak Allah. Pengorbanan dan keikhlasan adalah inti dari Idul adha”

“Semoga kesehatan, kemagfiratan, dan kebahagiaan selalu menyertaimu yang ikhlas dalam berkurban”

“Berkurbanlah sekecil apapun itu karena bukan anda atau mereka yang memberi pahalanya melainkan Dia”

“Kala tetesan air mata Ibrahim jatuh menyaksikan keteguhan iman anaknya Ismail, kala itulah sejarah agung tercipta (Makna sebuah pengorbanan)”

“Ya Allah, jadikanlah setiap helaan nafas kami sebagai bukti cinta kepada Mu, dan pengorbanan kami sebagai bukti kami mendekati Mu. Selamat hari raya idul adha”

“Setiap satu helai rambut kurban adalah satu kebaikan. Tebarlah kebaikan di hari agung ini”

“Kurban adalah pertanda cinta, cinta kepada sang Khalik dan cinta kepada sesama”

“Semoga rahmat Tuhan senantiasa menyertai dirimu dan keluargamu dan maafkanlah segala kekhilafanku selama ini”

Dari keterangan di atas, kita menyimpulkan bahwa pengucapan “Selamat hari raya Idul Fitri” atau ucapan selamat lainnya sampai kapanpun akan terus menjadi perbedaan pendapat. Tetapi Imam As-Suyuthi mengikuti ulama yang membolehkannya. Menurutnya, pengucapan ini tidak bermasalah secara syar’i karena tidak ada dalil yang melarangnya. Seperti pada puasa asyura dengan penjelasannya.